Opsi

Kamis, 18 Juli 2013

Mengapa Harus Guru?


Saya adalah seorang Mahasiswi calon Tenaga Pendidik, yang –katanya- sekarang sedang ramai dipilih calon Mahasiswa untuk menentukan masa depannya. Ya, memilih sebagai seorang pendidik yang resmi mengenyam pendidikan di Universitas Kependidikan dan akan lulus dengan gelar Es-Pe-De dan kelak akan berdiri di depan siswanya dengan penuh percaya diri serta memegang harapan akan mencerdaskan anak bangsa.
Dulu, ketika saya kali pertama masuk di bangku kuliah, beberapa Dosen selalu bertanya pada Mahasiswanya “Apa alasan Anda memilih jurusan ini? karena mimpi? karena tugas mulia? atau karena orangtua?” Jujur saja saat itu merasa ‘kagok’ dan bingung saat pertanyaan itu muncul tiba-tiba dan diluncurkan pada saya. Kemudian berbagai pemikiran saya menyeruak seolah membuat saya tak tahu harus menjawab dengan apa.
Inilah yang sampai sekarangpun masih saya tanamkan dalam hati, kenapa dan untuk apa saya berada disini? di Universitas Kependidikan ini, dan memilih jurusan ini?
Saya teringat dengan teman-teman saya semasa SMA dulu. Mereka adalah orang-orang yang hebat, pikirku. Banyak diantara mereka diterima di berbagai Universitas bergengsi, bertitel, dan dinilai high quality. Jurusan yang dipilih pun termasuk kategori jurusan favorit –walaupun jurusan saya juga demikian- seperti kedokteran, teknik sipil, teknik kimia, komunikasi, Hubungan Internasional, akuntan, teknik mesin, teknik informatika… dan hampir semua masuk kategori Universitas yang “berkelas” di negeri ini. Mereka hebat, dan selalu membuat saya sedikit –atau bahkan banyak- minder.
Seulas tentang jalur masuk ke Universitas, saya diterima melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur Tes Tertulis tahun 2012. Saya memilih bidang IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) walaupun spesialisasi saya adalah IPA saat SMA. Ini terobosan bagi saya, sebab dapat memilih tiga bidang jurusan yang dikehendaki baik bidang IPA maupun IPS. Meski demikian, tetap saja dinilai seperti “banting stir” mengingat pilihan pertama saya dulu adalah Akuntansi, pilihan kedua adalah jurusan ini, dan pilihan terakhir justru Pendidikan Fisika. Mainstream, bukan? mengingat saya adalah jebolan bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Alhasil, 2-3 bulan sebelum SNMPTN saya giatkan belajar dengan mandiri mata pelajaran bidang IPS.
Ya, mandiri dan tanpa mengikuti spesialisasi les tambahan apapun. Hal yang cukup menggelitik memang, suatu hari ketika saya sedang dalam perjalanan menuju lokasi Tes SNMPTN, saya bertemu dengan seorang bapak muda dan kami berdua sempat mengobrol. Di dalam kereta itu, beliau memang duduk di hadapan saya. Mungkin dengan maksud berbasa-basi, beliau menyanyakan saya Mahasiswi Universitas mana. Kemudian saya katakan bahwa saya baru saja lulus dan akan mengikuti Tes SNMPTN. Saat itu tampaknya beliau tertarik, lalu menanyakan asal sekolah saya. Saya jawab saja bahwa saya jebolan SMA N 1 Tegal dengan bidang IPA. Kami berbicara sedikit mendalam, soal bidang yang saya ambil adalah IPC dan pilihan pertama saya adalah bidang IPS, yaitu Akuntan.
Saat bapak muda itu mendengar jawaban saya, beliau bertanya “tapi, sudah ikut les tambahan IPS, kan?” Jujur saya kaget saat ditanyai hal itu. Akhirnya saya hanya tersenyum dan mengangguk, dan beliau berkata lagi “syukurlah, kalau tidak ikut les mbak bisa berat itu… kalau ikut kan lumayan bisa lebih terbantu”
Entah ketika saya mendengar itu, dalam benak saya rasanya sakit tetapi juga ingin tertawa dan berkata bahwa apa kaitannya antara LES TAMBAHAN dengan diterima atau tidaknya seorang calon Mahasiswa? Baiklah mungkin akan lebih mendapatkan “mind maping” yang tepat agar bisa masuk ke jurusan di Universitas DAMBAAN HATI. Justru setelah bapak muda ini berpikiran demikian, saya menjadi lebih berhati-hati bahwa memang saya menjadi pesimis tetapi akan saya BUKTIKAN bahwa pandangan itu tidak benar dan saya pun dengan modal buku-buku latihan soal dan media elektronik serta usaha dan doa, saya pasti LOLOS seleksi.
Beberapa kali memang, setelah saya melewati hari Tes SNMPTN, mindset yang ada di kepala dan hati saya berkata bahwa “Ah, apa saya bisa masuk di pilihan pertama? tapi untuk pilihan kedua… saya optimis masuk.” Mindset ini bukan sembarang, sebab beberapa kali saya mencocokkan lagi jawaban tes saya dan memperhitungkan plus minus nya, prediksi passing grade saya masih butuh keajaiban untuk dapat masuk di pilihan pertama.
Benar saja, saat hari pengumuman –yang saat itu disaksikan keluarga besar saya di Rumah makan fast food- melalui situs resmi SNMPTN, ternyata hasilnya adalah
PENGUMUMAN HASIL SNMPTN 2012
JALUR UJIAN TERTULIS

Nomor Peserta
Nama
Diterima di
312 — 42 — 02564
GITA NUR IZZATI
PENDIDIDKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD), UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


Selamat atas keberhasilan anda !

Ibu saya kemudian memeluk dan mengucapkan selamat. Semua keluarga saya merasa bahagia, bahwa ada salah satu anggota keluarganya kini berhasil mendapatkan status Mahasiswa Baru di Universitas Negeri. Bagaimana dengan saya? tentu saya bersyukur atas karunia dari-Nya dan akhirnya dapat membuktikan bahwa TIDAK ADA KAITAN antara Les tambahan atau semacamnya dengan DITERIMA/TIDAK nya seorang calon Mahasiswa. Meski demikian, ada sedikit kecewa di hati saya tentang mengapa bukan pada pilihan pertama saya diterima…
Baik. Kembali pada pembahasan tentang mengapa memilih Guru sebagai tujuan? Mulia sekali bila tujuannya ingin turut mencerdaskan anak bangsa. Kemudian ada yang berceletuk, “setelah anak bangsa menjadi cerdas, lantas kau mau apa?”
Sangat dermawan bila tujuannya ingin menyumbangkan hal yang terbaik bagi Pendidikan di Negeri ini. Kemudian ada yang berceletuk lagi, “menyumbangkan? berarti siap memberi tanpa mengharap imbalan? berarti siap mendidik tanpa mengharap GAJI yang jusru saat ini di gembar-gemborkan?”
Saya trenyuh dan berpikir lagi. Seperti tersadar, “ah, iya ya? kenapa saya memilih ini?”
Terlebih setelah beberapa bulan belajar di bangku kuliah Kependidikan serta mulai memahami dunia Pendidikan dengan warna-warni fakta di Negara ini. Betapapun itu juga mulia bila ada keputusan MK yang memberi kesempatan lulusan Non-Kependidikan (seperti halnya teman-teman saya dari teknik, akuntansi, komunikasi, dan berbagai ilmu murni lainnya) untuk dapat berkontribusi di dunia Pendidikan sebagai seorang GURU. Kembali lagi sajalah, akan saya tanyakan “Mengapa memilih GURU?”
Guru itu bukan perkara mudah. Bukan berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 2 siang. Bukan nikmat mendapat gaji walaupun sedang libur sekolah –entah yang satu ini perkara uang, semua orang tak menolak, iya?-
Tetapi Guru adalah “model” di depan siswa dan masyarakat. Guru selalu dihubungkan dengan hal yang baik, positif, patut dicontoh, dan anti melakukan hal buruk. Sekali kekerasan atau tindak kriminal yang dilakukan guru pasti langsung mencuat di media massa dan ruang publik. “Guru kok begitu?”. Menjadi GURU itu harus CERDAS menilai keadaan dan bagaimana menyikapinya agar tercapai tujuan PEMBELAJARAN. Bukan Ilmu murni dan pasti yang praktek realitanya selalu sesuai dengan teori. Menjadi Guru harus paham etika, psikologi anak, dan ilmu pengetahuan. Menjadi Guru itu… penuh tantangan. Bahkan beberapa guru “Wiyata Bakti” pun harus rela soal materil… Belum lagi ditambah sistem pengaturannya di Negeri ini.
Saya trenyuh. Sekali lagi. Apa yang bisa saya berikan untuk Negeri ini nanti bila anggapan masyarakat –termasuk saya- menjadi Guru itu mudah, menjadi Guru itu “pelarian”… Padahal Guru itu mulia dan perkara materil pun segala profesi pasti butuh.
Hal yang membedakan adalah, Seorang Guru pasti BAHAGIA bila siswa nya menjadi “orang” yang punya akhlak, yang memimpin, dan gaji lebih besar dari gajinya sekalipun. Karena itulah titik kebahagiaan seorang Guru. Pada akhirnya, alasan saya memilih jalan ini adalah karena saya ingin bahagia. Terdengar klise, tapi sebagai manusia yang terus belajar saya akan terus memperbaiki diri.

Tegal, Juli 2013. Ramadhan 1434 H.
Di tengah syukur atas Nikmat dan Karunia Allah SWT…

Sabtu, 30 Maret 2013

Program Profesi Guru bagi Lulusan Non-Kependidikan?

Keputusan Mahkamah Konstitusi perihal penolakan Permohonan pengujian atas UU Guru dan Dosen oleh tujuh Mahasiswa sempat membuat “ramai” di berbagai situs pemberitaan dan situs sosial. Tak terkecuali beberapa angkatan di atas saya yang seakan menolak keputusan MK. Mungkin karena saya termasuk awam dengan masalah tersebut, saya semakin penasaran menelusur lebih jauh.

Alasan beberapa angkatan di atas saya yang seperti menolak keputusan tersebut mungkin tidak jauh berbeda dengan isi permohonan dari tujuh Mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi, yang salah satunya menilai Bahwa, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen khususnya frasa “pendidikan sarjana atau program diploma empat” memberikan peluang kepada sarjana non kependidikan bisa menjadi guru menjadi ancaman yang serius bagi semua sarjana kependidikan. Sebab kuliah 4 tahun menjadi sia-sia karena harus bersaing dengan sarjana non kependidikan yang sejak awal tidak dicetak menjadi seorang guru. 

Sementara itu, pihak Pemerintah memberi beberapa keterangan (tercantum pada naskah putusan yang dapat diunduh pada web resmi Mahkamah Konstitusi) dan beberapa diantaranya adalah;
(a) Kesempatan yang terbuka bagi sarjana atau diploma empat nonkependidikan untuk mengikuti PPG tidak menutup atau menghambat peluang bagi sarjana atau diploma empat kependidikan untuk mengikuti PPG dan kesempatan yang terbuka tersebut tidak dapat diartikan sebagai perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum, ketidakadilan, atau diskriminasi.
(b) LPTK tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan guru melalui penyelenggaraan program studi kependidikan yang bidang ilmunya ada dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu, pengadaan guru melalui jalur lulusan pependidikan dan non kependidikan akan saling melengkapi kebutuhan guru yang profesional.

Pendidikan Profesi Guru (PPG) tidak terbatas hanya dapat diikuti oleh sarjana atau diploma empat lulusan LPTK, tetapi juga dapat diikuti oleh sarjana atau diploma empat lulusan perguruan tinggi non-LPTK yang relevan dengan bidang studi yang diajarkan. PPG bertujuan untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan bimbingan, dan pelatihan peserta didik; melakukan
penelitian dan mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.

Meskipun sarjana non kependidikan/ non LPTK (BISA/DAPAT) memilih profesi menjadi guru dan ingin mendapat SERTIFIKAT PENDIDIK melalui PPG,  tetap harus memiliki pengalaman minimal lima tahun mengajar dan sudah mendapatkan NUPTK (Nomor Unik Pendidik Tenaga Kependidikan) sebagaimana syarat mengikuti PPG sebagai berikut:

  1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang terakreditasi, kecuali Program Studi PGSD dan PGPAUD.
  2. Mengajar di satuan pendidikan di bawah binaan Kementerian Pendidikan Nasional.
  3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) atau guru yang dipekerjakan (DPK) pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
  4. Guru bukan PNS yang berstatus guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar pada satuan pendidikan negeri yang memiliki Surat Keputusan dari Pemda.
  5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
  6. Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun.
  7. Bersedia mengikuti pendidikan sesuai dengan peraturan yang ada dan mendapatkan ijin belajar dari Kepala sekolah dan Pemda.
  8. Memiliki surat keterangan berbadan sehat dari dokter.
  9. Memiliki surat keterangan bebas napza (narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya) dari instansi yang berwenang.

Sedangkan sarjana kependidikan/LPTK dapat langsung mengikuti proses PPG untuk mendapatkan sertifikat pendidik, dapat juga melalui program pemerintah PPG-SM3T. PPG-SM3T adalah program yang diberikan pemerintah yang memberikan kesempatan pada sarjana kependidikan untuk mengikuti PPG setelah mengabdi/mengikuti kegiatan SM3T (Sarjana Mengajar di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) selama kurang lebih satu tahun. Perlu diingat bahwa program ini hanya untuk para sarjana LPTK saja.

Hal yang menjadi pertanyaan dalam benak saya adalah; “Jika para guru/pendidik dari sarjana non kependidikan baru mendapatkan Pendidikan Profesi Guru pada saat mereka telah mengajar selama lima tahun (bukan waktu yang singkat), apakah kemampuan mengajar selama lima tahun mereka mengajar telah sesuai dengan Kompetensi Guru yang justru materi keahlian tersebut baru diberikan setelah mereka mengajar?”

Apabila sarjana non kependidikan dan sarjana kependidikan dianggap “sama” dalam memiliki hak untuk memilih profesi sebagai guru, mengapa salah satu syarat sarjana non kependidikan mengikuti PPG setelah lima tahun mengajar?

Jika sarjana non kependidikan dianggap mampu memenuhi kebutuhan akan sosok Guru yang menunjang Pendidikan di negeri ini, Apakah pembelajaran/pengajaran yang dilakukan oleh sarjana non kependidikan sebelum mengikuti PPG selama lima tahun (bukan waktu yang singkat) tidak dinilai sebagai sebuah “Percobaan Pembelajaran” tanpa keahlian Kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional guru?

Sarjana kependidikan maupun sarjana non kependidikan yang memilih profesi guru memang sama-sama mengemban amanah untuk memajukan Pendidikan Indonesia menuju lebih baik. Namun akan lebih bijak bila guru yunior yang sudah terjun di dunia Pendidikan memang benar-benar telah memiliki kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan demi kemajuan Pendidikan di Indonesia. (Gita Nur Izzati, Mahasiswa PGSD-UNNES).

Kamis, 28 Maret 2013

Interaksi Makhluk Hidup (Antarspesies)

Interaksi antar makhluk hidup berbeda spesies dan populasi disebut dengan interaksi Antarspesies. Beberapa minggu lalu saya mendapat tugas mata kuliah Konsep Dasar IPA di SD Lanjut, mengenai Organisasi Kehidupan, Saling Ketergantungan Antar Makhluk Hidup, Pencemaran dan Etika Lingkungan.

Alhamdulillah, saya mendapatkan kelancaran mengerjakan tugas tersebut. Satu hal yang perlu dicatat, mungkin diingatkan pada teman-teman calon pendidik... karena saya pun baru menyadari saat saya kuliah, bahwa interaksi antarspesies mutualisme yang biasa dijelaskan sejak saya SD sampai SMA adalah interaksi antara dua spesies yang seling menguntungkan (titik). Padahal setelah membaca buku literatur dan penjelasan lebih lanjut oleh dosen saya, ternyata...

Berikut saduran tugas makalah saya tentang Interaksi Makhluk Hidup (Antarspesies).
Menurut Dwidjoseputro (1994) dalam Sumandi, Yosaphat (2008: 2.19), hubungan antarspesies dapat dikelompokkan menjadi delapan bentuk dasar, yaitu:
1)   Netralisme, adalah interaksi antara dua spesies individu baik dalam keadaan terpisah maupun berkumpul tidak saling merugikan atau menguntungkan. Contoh: ayam dengan kambing dalam suatu halaman berumput.
2)   Predasi, yaitu interaksi dua individu dari populasi berbeda spesies berupa makan-dimakan atau spesies memakan spesies lainnya, individu yang memakan disebut predator (Latin: praeda = mangsa) dan yang dimakan disebut mangsa. Contoh: Harimau memakan kelinci, Kucing makan tikus, Kuda makann rumput.
3)   Parasitisme, yaitu interaksi bersama antara dua individu berbeda spesies yang hanya menguntungkan sepihak saja, misalnya hubungan antara kutu yang menghisap darah tikus. Kutu sebagai parasit dan tikus sebagai inangnya. Serta Taenia saginata (cacing pita sapi) dengan sapi.
Pada hubungan ini, parasit biasanya tidak akan membunuh inangnya karena bila inangnya mati, maka parasit akan kehilangan sumber makanan. Hal inilah yang membedakan dengan Predasi.
4)   Mutualisme (Latin: mutuus = penukaran), terjadi bila dua spesies hidup bersama, masing masing mendapatkan keuntungan dan kedua populasi ini akan berkembang dengan baik. Tetapi jika keduanya terpisahkan maka masing-masing tidak dapat hidup. Contoh:  bakteri pengurai selulosa yang hidup di dalam usus sapi atau hewan pemamah biak lain. Bakteri tersebut mendapat makanan dan habitat yang sesuai, dan sapi mendapat sari makanan hasil penguraian bakteri.
5)   Komensalisme, adalah hubungan yang terdapat antara dua spesies, dimana populasi satu mendapat keuntungan sedangkan populasi yang lainnya tidak terpengaruh secara berarti, dengan kata lain tidak mendapat keuntungan atau dirugikan. Contoh: Anggrek atau paku-pakuan yang hidup menempel pada tanaman lain.
6)   Kompetisi, yaitu hubungan dua populasi yang hidup bersama dan saling mempengaruhi akibat adanya kebutuhan akan bahan yang sama, sedangkan sumbernya terbatas. Contoh: Harimau dan singa di padang rumput sama-sama memburu kelinci sebagai makanannya.
7)   Kooperasi, yaitu hubungan dua populasi yang bila hidup bersama akan lebih menguntungkan bagi kedua populasi dibanding dengan hidup sendiri-sendiri, tetapi kedua populasi ini bisa hidup sendiri-sendiri bila tidak terjadi hubungan kooperasi. Contoh: Kerbau dengan burung yang suka makan kutu. 
8) Antagonisme atau Antibiosis, yaitu hubungan dua populasi yang saling bermusuhan. Kedua populais bisa hidup sendri-sendiri tetapi jika hidup bersama maka salah satunya akan mati. Contoh: Interaksi antara jamur Penicillium dengan mikoroorganisme lain. Jamur ini mengeluarkan racun yang dapat menghambat atau mematikan makhluk hidup lainnya (mikoroorganisme lain).


Mengingatkan, bahwa interaksi Mutualisme terjadi bila dua spesies hidup bersama, masing masing mendapatkan keuntungan dan kedua populasi ini akan berkembang dengan baik. Tetapi jika keduanya terpisahkan maka masing-masing tidak dapat hidup.
Sedangkan definisi Mutualisme yang selama ini dijelaskan pada buku literatur SD-SMP-SMA adalah definisi interaksi Kooperatif. Setidaknya itulah yang terjadi pada saya. Terlepas dari persoalan mana yang benar, untuk saat ini saya meyakini pendapat Dwidjoseputro (1994) seperti yang telah dipaparkan di atas. Semoga bermanfaat.

Guru Sekolah Dasar


Definisi guru diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” (Pasal 1 ayat 1)
Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik, guru juga dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi contoh karakter yang baik bagi anak didiknya.
Guru pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
Setiap guru kelas maupun guru mata pelajaran memiliki standar komptensi yakni pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kaitannya dengan makalah ini, akan dibahas mengenai standar kompetensi pedagogik guru. Standar kompetensi pedagogik guru terdiri atas beberapa kompetensi, yaitu :
a.    Menguasai Kerakteristik Peserta Didik.
Guru mencatat dan menggunakan informasi tentang karakteristik peserta didik untuk membantu proses pembelajaran. Karakteristik ini terkait dengan aspek fisik intelektual, sosial emosional, moral, dan latar belakang sosial budaya.
b.    Menguasai Teori Belajar dan Prinsip-Prinsip Pembelajaran yang Mendidik.
Guru menetapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif sesuai dengan standar kompetensi guru. Guru menyesuaikan metode pembelajaran supaya sesuai dengan karakteristik peserta didik dan memotivasi mereka untuk belajar.
c.    Pengembangan Kurikulum
d.   Kegiatan Pembelajaran yang Mendidik
Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru mnyusun dan menggunakan berbagai materi dan sumber belajar sesuai dengan karakteristik peserta didik.
e.    Memahami dan Mengembangkan Potensi
Guru menganalisis potensi pembelajaran setiap peserta didik dan mengidentifikasi pengembangan potensi peserta didik melalui program pembelajaran yang mendukung peserta didik mengaktualisasikan potensi akademik, kepribadian, dan kreativitasnya sampai ada bukti jelas bahwa peserta didik mengaktualisasikan potensi mereka.
f.     Komunikasi dengan Peserta Didik
Guru berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dan bersikap antusias dan positif. Guru memberikan respon yang lengkap dan relevan kepada komentar atau pertanyaan peserta didik.
g.    Penilaian dan Evaluasi
(Sumber: Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru, Buku 2)
Seluruh kompetensi diatas harus mampu dikuasai setiap guru agar proses pembelajaran dan pendidikan dapat berjalan dengan baik, termasuk bimbingan terhadap anak beresiko yang akan dibahas lebih lanjut.

saduran dari Subbab Pembahasan pada Makalah Peran Pemahaman Psikologi Perkembangan bagi Guru dalam Penanganan Anak Beresiko di Kelas Sekolah Dasar 
oleh Gita Nur Izzati, Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang.