Saya adalah seorang Mahasiswi
calon Tenaga Pendidik, yang –katanya- sekarang sedang ramai dipilih calon
Mahasiswa untuk menentukan masa depannya. Ya, memilih sebagai seorang pendidik
yang resmi mengenyam pendidikan di Universitas Kependidikan dan akan lulus
dengan gelar Es-Pe-De dan kelak akan berdiri di depan siswanya dengan penuh
percaya diri serta memegang harapan akan mencerdaskan anak bangsa.
Dulu, ketika saya kali pertama
masuk di bangku kuliah, beberapa Dosen selalu bertanya pada Mahasiswanya “Apa
alasan Anda memilih jurusan ini? karena mimpi? karena tugas mulia? atau karena
orangtua?” Jujur saja saat itu merasa ‘kagok’ dan bingung saat pertanyaan itu
muncul tiba-tiba dan diluncurkan pada saya. Kemudian berbagai pemikiran saya
menyeruak seolah membuat saya tak tahu harus menjawab dengan apa.
Inilah yang sampai sekarangpun
masih saya tanamkan dalam hati, kenapa dan untuk apa saya berada disini? di
Universitas Kependidikan ini, dan memilih jurusan ini?
Saya teringat dengan teman-teman
saya semasa SMA dulu. Mereka adalah orang-orang yang hebat, pikirku. Banyak
diantara mereka diterima di berbagai Universitas bergengsi, bertitel, dan
dinilai high quality. Jurusan yang
dipilih pun termasuk kategori jurusan favorit –walaupun jurusan saya juga
demikian- seperti kedokteran, teknik sipil, teknik kimia, komunikasi, Hubungan
Internasional, akuntan, teknik mesin, teknik informatika… dan hampir semua
masuk kategori Universitas yang “berkelas” di negeri ini. Mereka hebat, dan
selalu membuat saya sedikit –atau bahkan banyak- minder.
Seulas tentang jalur masuk ke
Universitas, saya diterima melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri
jalur Tes Tertulis tahun 2012. Saya memilih bidang IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran)
walaupun spesialisasi saya adalah IPA saat SMA. Ini terobosan bagi saya, sebab
dapat memilih tiga bidang jurusan yang dikehendaki baik bidang IPA maupun IPS. Meski
demikian, tetap saja dinilai seperti “banting stir” mengingat pilihan pertama
saya dulu adalah Akuntansi, pilihan kedua adalah jurusan ini, dan pilihan
terakhir justru Pendidikan Fisika. Mainstream, bukan? mengingat saya adalah
jebolan bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Alhasil, 2-3 bulan sebelum SNMPTN saya
giatkan belajar dengan mandiri mata pelajaran bidang IPS.
Ya, mandiri dan tanpa mengikuti
spesialisasi les tambahan apapun. Hal yang cukup menggelitik memang, suatu hari
ketika saya sedang dalam perjalanan menuju lokasi Tes SNMPTN, saya bertemu
dengan seorang bapak muda dan kami berdua sempat mengobrol. Di dalam kereta
itu, beliau memang duduk di hadapan saya. Mungkin dengan maksud berbasa-basi,
beliau menyanyakan saya Mahasiswi Universitas mana. Kemudian saya katakan bahwa
saya baru saja lulus dan akan mengikuti Tes SNMPTN. Saat itu tampaknya beliau
tertarik, lalu menanyakan asal sekolah saya. Saya jawab saja bahwa saya jebolan
SMA N 1 Tegal dengan bidang IPA. Kami berbicara sedikit mendalam, soal bidang
yang saya ambil adalah IPC dan pilihan pertama saya adalah bidang IPS, yaitu
Akuntan.
Saat bapak muda itu mendengar
jawaban saya, beliau bertanya “tapi, sudah ikut les tambahan IPS, kan?” Jujur
saya kaget saat ditanyai hal itu. Akhirnya saya hanya tersenyum dan mengangguk,
dan beliau berkata lagi “syukurlah, kalau tidak ikut les mbak bisa berat itu…
kalau ikut kan lumayan bisa lebih terbantu”
Entah ketika saya mendengar itu,
dalam benak saya rasanya sakit tetapi juga ingin tertawa dan berkata bahwa apa kaitannya
antara LES TAMBAHAN dengan diterima atau tidaknya seorang calon Mahasiswa? Baiklah
mungkin akan lebih mendapatkan “mind maping” yang tepat agar bisa masuk ke
jurusan di Universitas DAMBAAN HATI. Justru setelah bapak muda ini berpikiran
demikian, saya menjadi lebih berhati-hati bahwa memang saya menjadi pesimis tetapi
akan saya BUKTIKAN bahwa pandangan itu tidak benar dan saya pun dengan modal
buku-buku latihan soal dan media elektronik serta usaha dan doa, saya pasti
LOLOS seleksi.
Beberapa kali memang, setelah
saya melewati hari Tes SNMPTN, mindset
yang ada di kepala dan hati saya berkata bahwa “Ah, apa saya bisa masuk di pilihan
pertama? tapi untuk pilihan kedua… saya optimis masuk.” Mindset ini bukan sembarang, sebab beberapa kali saya mencocokkan
lagi jawaban tes saya dan memperhitungkan plus minus nya, prediksi passing grade saya masih butuh keajaiban
untuk dapat masuk di pilihan pertama.
Benar saja, saat hari pengumuman –yang
saat itu disaksikan keluarga besar saya di Rumah makan fast food- melalui situs resmi SNMPTN, ternyata hasilnya adalah
PENGUMUMAN HASIL
SNMPTN 2012
JALUR UJIAN TERTULIS |
Nomor Peserta
|
Nama
|
Diterima di
|
312 — 42 — 02564
|
GITA NUR IZZATI
|
PENDIDIDKAN GURU
SEKOLAH DASAR (PGSD), UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
|
Selamat atas keberhasilan anda !
Ibu saya kemudian memeluk dan
mengucapkan selamat. Semua keluarga saya merasa bahagia, bahwa ada salah satu anggota
keluarganya kini berhasil mendapatkan status Mahasiswa Baru di Universitas
Negeri. Bagaimana dengan saya? tentu saya bersyukur atas karunia dari-Nya dan
akhirnya dapat membuktikan bahwa TIDAK ADA KAITAN antara Les tambahan atau
semacamnya dengan DITERIMA/TIDAK nya seorang calon Mahasiswa. Meski demikian,
ada sedikit kecewa di hati saya tentang mengapa bukan pada pilihan pertama saya
diterima…
Baik. Kembali pada pembahasan
tentang mengapa memilih Guru sebagai tujuan? Mulia sekali bila tujuannya ingin
turut mencerdaskan anak bangsa. Kemudian ada yang berceletuk, “setelah anak
bangsa menjadi cerdas, lantas kau mau apa?”
Sangat dermawan bila tujuannya
ingin menyumbangkan hal yang terbaik bagi Pendidikan di Negeri ini. Kemudian
ada yang berceletuk lagi, “menyumbangkan? berarti siap memberi tanpa mengharap
imbalan? berarti siap mendidik tanpa mengharap GAJI yang jusru saat ini di
gembar-gemborkan?”
Saya trenyuh dan berpikir lagi.
Seperti tersadar, “ah, iya ya? kenapa saya memilih ini?”
Terlebih setelah beberapa bulan
belajar di bangku kuliah Kependidikan serta mulai memahami dunia Pendidikan
dengan warna-warni fakta di Negara ini. Betapapun itu juga mulia bila ada
keputusan MK yang memberi kesempatan lulusan Non-Kependidikan (seperti halnya
teman-teman saya dari teknik, akuntansi, komunikasi, dan berbagai ilmu murni
lainnya) untuk dapat berkontribusi di dunia Pendidikan sebagai seorang GURU.
Kembali lagi sajalah, akan saya tanyakan “Mengapa memilih GURU?”
Guru itu bukan perkara mudah.
Bukan berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 2 siang. Bukan nikmat mendapat gaji
walaupun sedang libur sekolah –entah yang satu ini perkara uang, semua orang
tak menolak, iya?-
Tetapi Guru adalah “model” di
depan siswa dan masyarakat. Guru selalu dihubungkan dengan hal yang baik,
positif, patut dicontoh, dan anti melakukan hal buruk. Sekali kekerasan atau
tindak kriminal yang dilakukan guru pasti langsung mencuat di media massa dan
ruang publik. “Guru kok begitu?”. Menjadi GURU itu harus CERDAS menilai keadaan
dan bagaimana menyikapinya agar tercapai tujuan PEMBELAJARAN. Bukan Ilmu murni
dan pasti yang praktek realitanya selalu sesuai dengan teori. Menjadi Guru
harus paham etika, psikologi anak, dan ilmu pengetahuan. Menjadi Guru itu…
penuh tantangan. Bahkan beberapa guru “Wiyata Bakti” pun harus rela soal
materil… Belum lagi ditambah sistem pengaturannya di Negeri ini.
Saya trenyuh. Sekali lagi. Apa
yang bisa saya berikan untuk Negeri ini nanti bila anggapan masyarakat –termasuk
saya- menjadi Guru itu mudah, menjadi Guru itu “pelarian”… Padahal Guru itu
mulia dan perkara materil pun segala profesi pasti butuh.
Hal yang membedakan adalah,
Seorang Guru pasti BAHAGIA bila siswa nya menjadi “orang” yang punya akhlak,
yang memimpin, dan gaji lebih besar dari gajinya sekalipun. Karena itulah titik
kebahagiaan seorang Guru. Pada akhirnya, alasan saya memilih jalan ini adalah
karena saya ingin bahagia. Terdengar klise, tapi sebagai manusia yang terus
belajar saya akan terus memperbaiki diri.
Tegal, Juli 2013. Ramadhan 1434 H.
Di tengah syukur atas Nikmat dan
Karunia Allah SWT…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar