BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya. Tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang
tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3, bahwa tujuan dari
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maja Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertanggung
jawab.
Pemahaman tentang
peserta didik sebagai subyek maupun obyek pendidikan perlu dimiliki oleh
pendidik maupun calon pendidik dalam rangka menyelenggarakan pendidikan menuju
lebih baik. Oleh karena itu perlu kiranya pemberian materi khusus tentang
peserta didik dalam kajian Ilmu Pendidikan guna memantapkan langkah pendidik
Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang pengertian Peserta Didik dalam kajian Ilmu Pendidikan?
2. Bagaimana hakekat
peserta didik sebagai persona?
3. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan dalam diri peserta didik?
4. Bagaimana teori-teori
yang terkait dalam perkembangan fisik, biologis, dan intelektual peserta didik?
C.
Tujuan
1. Memahami pengertian Peserta Didik dalam kajian Ilmu Pendidikan
2. Memahami hakekat
peserta didik sebagai persona
3. Memahami pertumbuhan dan perkembangan dalam diri peserta didik
4. Memahami teori-teori
yang terkait dalam perkembangan fisik, biologis, dan intelektual peserta didik
BAB II
PEMBAHASAN
Kajian
tentang peserta didik menyangkut beberapa hal diantaranya adalah pengertian,
peserta didik sebagai personal, tori perkembangan peserta didik dalam beberapa
aspek, kecerdasan ganda, keberbakatan.
A.
Pengertian Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik
umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa
tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami
perkembangan sejaklahir hingga meninggal dengan perubahan-perubahan yang
terjadi secara wajar (Sutari Imam Barnadib, 1995). Istilah peserta didik pada
pendidikan formal/sekolah jenjang dasar dan menengah, dikenal dengan nama anak
didik atau siswa; pada pendidikan pondok pesantren disebut santri, dan pada
pendidikan keluarga disebut anak. Namun pendidikan pada lembaga nonformal
tertentu seperti kelompok belajar paket C atau lembaga kursus, peserta didik
disebut peserta ajar yang terkadang bisa terdiri dari para orang tua.
Menurut Sutari Imam Barnadib (1995) peserta didik
sangat terbantung dan membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki
kewibawaan dan kedewasaan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam kondisi
lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri, dan serba kekurangan disbanding
orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi
luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
B.
Peserta Disik sebagai Persona
Pandangan modern tentang pendidikan dewasa ini melihat
peserta didik adalah subyek atau persona, yakni makhluk yang mempribadi tidak
lagi sebagai obyek yang non-pribadi sebagaimana pandangan para ahli pada abad
pertengahan. Peserta didik adalah subyek yang otonom, memiliki motivasi,
hasrat, ambisi, ekspresi, cita-cita, mampu merasakan kesedihan, bisa senang dan
bisa marah, dan sebagainya. Selaku obyek atau persona yang memiliki otonomi, ia
ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus agar bisa
memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai di hidupnya. Adapun ciri khas
peserta didik yang dijelaskan oleh Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994) adalah
bahwa peserta didik merupakan:
a.
Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang
khas, sehingga
merupakan insane yang unik. Maksudnya ia sejak lahir telah memiliki
potensi-potensi yang berbeda dengan individu lain yang ingin dikembangkan dan
diaktualisasikan.
b.
Individu yang sedang berkembang, yakni selalu ada perubahan dalam diri peserta didik
secara wajar baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun kearah penyesuaian
dengan lingkungan.
c.
Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan
perlakuan manusiawi. Maksudnya
adalah walaupun ia adalah makhluk yang berkembang punya potensi fisik dan
psikis untuk bisa mandiri, namun karena belum dewasa maka ia membutuhkan
bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya.
d.
Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam diri anak ada
kecenderungan untuk memerdekakan diri, sehingga mewajibkan bagi pendidik dan
orang tua untuk setapak demi setapak memeberikan kebebasan kepada anak dan pada
akhirnya pendidik mengundurkan diri.
Keempat ciri diatas merupakan justifikasi indukasi
keunikan peserta didik sebagai persona yang multidimensional. Disebut
multidimensional, sebab terdapat beberapa dimensi yang menjelma dalam diri
peserta didik, yaitu
ü
Dimensi
individualitas, dimensi ini berari peserta didik mewujud dalam kemandirian,
ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, keakuan, semangat dan
ambisi.
ü
Dimensi
sosialitas, dimensi ini Nampak pada sikap kedermawanan, saling menolong,
toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesama, berorganisasi, dan hidup
bermasyarakat.
ü
Dimensi
religiusitas, dimensi ini terlihat pada perilaku ketaatan menjalankan ajaran
agama, beribadah, keyakinan akan adanya Tuhan, ketekunan, keikhlasan, kesediaan
berdakwah, dan kepasrahan atau tawakal.
ü
Dimensi
historisitas, merujuk pada sikap kesenangan menyelidiki kisah-kisah kuno,
kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah.
ü
Dimensi
moralitas, dimensi ini terlihat pada pengetahuannya tentang nilai-nilai moral,
pengetahuan tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku moral,
kemampuan membedakan antara perilaku moral baik dan buruk, kemampuan menjaga
perilaku ketaatan moral, dan lain-lain.
Dari pemahaman peserta didik sebagai persona yang
multidimensional inilah dibutuhkan kecerdasan rasio, kepekaan hati nurani, dan
kebaikan budi pekerti sehingga dapat memajukan peradaban menjadi lebih baik,
bukan sebaliknya. Kecerdasan yang dimaksud mencakup kecerdasan manusia yang
bersifat ganda (multiple intelligence)
sebagaimana yang telah disebutkan Howard Gardner yang senada dengan pernyataan
Thomas Amstrong bahwa terdapat tujuh kecerdasan yaitu: verbal intelligences, musical intelligences, spatial intelligences,
kinesthetical intelligences, logical-mathematical intelligences, social
intelligences, intrapersonal intelligences.
Guna memperkuat hakekat manusia sebagai makhluk yang
multidimensional, maka Notonagoro menambahkan bahwa secara kodrati peserta
didik merupakan sosok manusia yang memiliki aneka macam kodrat yaitu kedudukan
kodrat, susunan kodrat, dan sifat kodrat. Dari segi kedudukan kodrat, manusia
bisa disebut sebagai makhluk yang berdiri sendiri di satu sisi dan makhluk
ber-Tuhan di sisi yang lain. Dari segi susunan kodratnya, manusia merupakan
makhluk yang tersusun atas jiwa dan raga. Adapun dari segi sifat kodratnya,
manusia sebagai makhluk individu di satu sisi dan makhluk sosial di sisi lain.
Skema hakekat kodrat peserta didik sebagai subyek manusia tergambar dalam
diagram sebagai berikut:
KEDUDUKAN KODRAT
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik
Sebagai manusia memiliki potensi kodrati, peserta
didik memungkinkan untuk bisa tumbuh dan berkembang menjadi sosok makhluk yang
sempurna (a fully functioning person). Istilah pertumbuhan pada diri peserta
didik lebih diartikan sebagai bertambahnya tinggi badan, berat badan, semakin
efektifnya fungsi-fungsi otot tubuh dan organ fisik, organ panca indera, dan
lain-lain yang menyangkut kemajuan aspek fisik. Sedangkan, perkembangan
diartikan sebagai semakin optimalnya kemajuan aspek psikis peserta didik
seperti kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan pribadi, pengendalian
emosi, kepekaan spiritual, keimanan dan ketaqwaan.
Menurut Hurlock (1992) perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Menurut Hurlock (1992) perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Banyak teori dari para ahli yang menjelaskan bagaimana
proses dan pentahapan pertumbuhan dan perkembangan pada diri peserta didik
mulai dari masa anak-anak sampai dewasa. Masing-masing tahap merupakan masa
peka peserta didik terhadap kebutuhan tertentu yang membutuhkan perlakuan yang
sesuai dari pendidik. Mengenai masa peka ini dikemukakan pertama kali oleh
Maria Mentessori (E.M Standing,1988) dengan istilah “sensitive periods”. Tugas
pendidik adalah kewajiban mengenali masa peka yang ada pada diri peserta didik
yang kemudian memberikan pelayanan dan perlakuan yang tepat.
Dalam bukunya Crow and crow (Sutari Imam Barnadib,
1995), kita mengenal beberapa usia perkembangan, diantaranya :
a. Usia
Kronologis
b. Usia
Kejasmanian
c. Usia
Anatomis
d. Usia
Kejiwaan
e. Usia
Pengalaman
Usia perkembangan yang ada pada masing-masing peserta
didik tersebut perlu diketahui dan dipahami oleh pendidik. Masing-masing
peserta didik memiliki loncatan dan kelambatan pada jenis usia perkembangan
yang berbeda. Bagi peserta didik yang hidup di dalam lingkungan yang baik dan
teratur maka perkembangan-perkembangannya akan melalui proses umum, sehingga
tiap-tiap usia perkembangan dapat masak pada waktunya. Akan tetapi tidak semua
peserta didik hidup dalam lingkungan demikian. Kenyataannya kehidupan yang
dialami oleh masing-masing amat kompleks, maka banyak terjadi ketidaksamaan
dari usia-usia perkembangan tersebut. Dalam banyak kasus, ada yang lebih cepat
perkembangan jiwanya, tetapi jasmaninya berkembang lambat.
Charlotte Buhler juga mengemukakan pendapatnya bahwa
perkembangan yang terjadi pada peserta didik berlangsung melalui tahap-tahap,
yaitu :
a. Masa
permulaan
b. Masa
penanjakan sampai kira-kira umur 25 tahun
c. Masa
puncak masa hidup, pada umur 25 sampai 50 tahun
d. Masa
penurunan dan menarik diri dari kehidupan masyarakat
e. Masa
akhir kehidupan,
Namun oleh Buhler, meskipun kemunduran biologis nyata
terjadi, tetapi belum dapat ditentukan apakah juga ada kemunduran fungsi
psikisnya.
Terhadap semua hal yang telah digambarkan tersebut,
paling tidak ada lima asas perkembangan pada diri peserta didik menurut Sutari
Imam Barnadib (1995):
1. Tubuhnya
selalu berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk
menyatakan kepribadiannya.
2. Anak
dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, hal ini menyebabkan dia terikat kepada
pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
3. Anak
membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta membutuhkan pendidikan untuk
kesejahteraan anak didik.
4. Anak
mempunyai daya berekspresi, yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru di
dalam lingkungannya dan menuntun pendidikan untuk member kesempatan kepadanya.
5. Anak
mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Beberapa ahli terdahulu telah membuat teori
perkembanagan peserta didik dengan orientasi beragam. Berikut masing-masing
teorinya :
« Nativisme
Teori
Nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi
manusia sejak lahir sudah dikarunai bekal bakat dan potensi baik dan buruk.
Menurut teori navitisme ini, anak yang sudah membawa potensi jahat nantinya
akan menjadi manusia jahat, sebaliknya anak yang membawa potensi baik akan
menjadi baik pula. Oleh karena itu yang akan menentukan pertumbuhan dan
perkembangan manusia adalah faktor dari dalam yaitu potensi baik buruk
tersebut, sedangkan faktor luar berupa pengalaman dari lingkungan tidak akan
mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Sehingga teori ini menganggap bahwa pertumbuhan dan
perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor pembawaannya yaitu
aneka potensi.
«
Empirisme
Teori
ini dipelopori oleh John Locke yang berpendapat bahwa perkembangan anak
tergantung dari pengalamannya, sedangkan
pembawaannya tidak penting. John Locke merintis aliran baru yang dikenal dengan
teori “Tabula Rasa” yang beranggapan
bahwa anak terlahir ke dunia bagaikan kertas putih. Istilah lain dari empirisme
adalah enviromentalisme sebab menekankan pengalaman empiris yang berupa
ransangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan (enviroment).
Teori
ini oleh pemikir-pemikir berikutnya banyak dikritik dan dikoreksi, karena teori
ini dianggap berat sebelah yang hanya mementingkan faktor pengalaman semata
tanpa memperhatikan faktor bakat individu. Beberapa tokoh yang mengoreksi teori
empirisme namun masih mengikuti prinsip teori ini bahwa manusia adalah makhluk yang
pasif dan dapat dimanipulasi melalui modifikasi tingkah laku adalah
B.F.Skinner, Ivan Pavlov, Thorndike dan J.B.Watson.
«
Naturalisme
Teori
Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaques Rousseau (1712:1778) yang berpendapat
bahwa anak sejak lahir sudah membawa potensi baik. Adapun akhirnya ia menjadi
jahat disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negative dari masyarakat yang memang
sudah rusak atau jahat.
Agar
anak tetap menjadi baik dan tidak berubah menjadi jahat, maka anak tersebut
sejak kecil harus dipisahkan dari pengaruh masyarakat. Karena masyarakat pada
dasarnya sudah berubah menjadi berwatak jahat, bobrok, sarang dari banyak
kriminalitas, korupsi, dan lain-lain. Akibat dari pandangan itu maka aliran
Naturalisme dari J.J.Rousseau ini dikenal juga dengan teori Negativisme.
Dalam
bukunya yang berjudul Emile, J.J,Rousseau menceritakan bagaimana pendidikan
harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara individual
dengan cara menjauhkan peserta didik dari segala keburukan masyarakat yang
serba dibuat-buat (artifical)
sehingga segenap potensi kebaikan pada diri anak sebagai peserta didik bisa
berkembang secara bebas, alamiah dan spontan.
«
Konvergensi
Teori
ini dipelopori oleh William Stern (1871-1939) yang beranggapan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan individu disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor
internal yaitu potensi yang dibawa sejak lahir juga dipengaruhi oleh
pengalaman. Faktor internal dan faktor eksternal ini sama-sama
memperoleh peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Implikasi
teori ini adalah: (1) pendidikan mungkin dilaksanakan, (2) pendidikan diartikan
sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk
mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi yang buruk atau kurang
baik, (3) yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Namun
demikian teori konvergensi dianggap para ahli masih menyisakan permasalahan
karena teori ini dianggap tidak bisa menjelaskan lebih lanjut dinamika
perkembangan pasca pertemuan dua faktor bawaan dan lingkungan. Untuk itu, Jean
Piaget mengembangkan Teori Interaksi
dengan penjelasan sebagaimana gambar berikut:
|
|
|
|
F.G (Faktor Genetik), F.L.(FFaktor
Lingkungan),P (Person atau Pribadi)
Gambar
2: Dinamika Perkembangan Anak
Dalam hal ini Piaget ingin menjelaskan bahwa pribadi
anak/peserta didik yang semula masih belum berkembang dengan dilambangkan F.G.
kemudian mengalami perkembangan menjadi yang lebih baik yang dilambangkan
dengan P1, P2, P3, dan seterusnya setelah
secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan yang dilambangkan
dengan F.L.
Variasi pemikiran dalam teori interaksi adalah
munculnya teori Norm of Reaction. Menurut Hirsch, tokoh pemikir teori ini bahwa
genotype merupakan bagian sifat bawaan yang potensial dan tidak langsung
kelihatan. Ia merupakan rentang potensi (range of potencial outcomes). Genotype dapat berkembang tergantung dari faktor
lingkungan (environment) dan saat tepat (timing) terjadinya interaksi antara
keduanya. Genetik menentukan batas sosial seseorang. Adapun hasil perkembangan
seseorang dapat bergerak kea rah batas atas atau batas bawah. Tokoh teori
konvergensi yang bernama William Stern, menyebut teori ini dengan istilah
rubber band hypothesis.
Tokoh lain seperti Lerner dan Spanier menyebut bahwa
perkembangan yang dialami oleh peserta didik sebagai interaksi dinamis antara 4 bidang, yaitu:
historis,biologis, psikologis, dan sosiokultural. Sedangkan Bandura menyebut
perkembangan tersebut merupakan hasil interaksi dinamis antara tiga bidang yang
mencakup: B (behavior), E (enviroment), dan P (person).
Menyimak argumentasi dari teori kovergensi dengan
pengembangannya inilah, dalam dunia pendidikan teori ini telah dianut oleh
banyak kalangan. Dari teori ini akhirnya banyak muncul variasi-variasi strategi
dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajran. Seperti yang dijelaskan oleh Umar
Tirtarahardja dan La Sulo (1994) aneka variasi strategi tersebut dikenal dengan
nama strategi disposisional, srtategi fenomenologis, strategoi behavioral, dan
strategi psikodinamik.
D.
Teori
Perkembangan Fisik
Peserta Didik
Teori perkembangan fisik peserta didik dikemukakan
oleh Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983). Perkembangan fisik
mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Dalam
pendidikan, perkembangan fisik anak mencakup pengemb ngan: kekuatan (strength),
ketahanan (endurance), kecepatan (speed), kecekatan (agility), dan keseimbangan
(balance).
Menurut Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth
(1983) yang dikutip oleh Slamet Suyanto (2005), perkembangan motorik peserta
didik pada anak usia dini mengikuti delapan pola umum sebagai berikut:
a.
Continuity (keberlanjutan), yakni suatu perkembangan yang
dimulai dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks sejalan dengan
bertambahnya usia anak.
b.
Uniform sequence (kesamaan tahapan), yakni suatu perkembangan yang
memiliki tahapan sama untuk semua anak, meskipun kecepatan tiap anak untuk
mencapai tahapan tersebut berbeda.
c.
Maturity (kematangan), yakni suatu perkembangan yang ada pada peserta didik yang
dipengaruhi oleh perkembangan sel syaraf. Semua sel syaraf telah terbentuk
semenjak anak lahir meskipun proses mielinasinya masih terus berlangsung sampai
beberapa tahun kemudian.
d.
From general to specific process
(proses dari umum ke khusus), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari gerak
yang bersifat umum kepada gerak yang bersifat khusus. Gerakan secara menyeluruh
dari badan terjadi terlebih dahulu baru kemudian gerakan bagian-bagiannya. Hal
ini dikarenakan otot-otot besar (gross
muscles) berkembang lebih dulu dari pada otot-otot halus (fine muscles).
e.
Dari
gerak refleks bawaan ke arah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan yang
dimiliki peserta didik yang dimulai dari gerak refleks bawaan yang dibawa sejak
lahir ke dunia kepada aneka gerak yang terkoordinasi dan bertujuan.
f.
Chepalo-caudial direction, yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian
yang mendekati kepala berkembang lebih cepat daripada bagian yang mendekati
ekor. Otot pada leher berkembang lebih dahulu daripada otot kaki.
g.
Proximo-distal , yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian
yang mendekati sumbu tubuh berkembang lebih dahulu daripada yang lebih jauh.
h.
From bilateral to crosslateral coordinate, yakni suatu perkembangan yang dimulai dari koordinasi
organ yang sama berkembang lebih sahulu sebelum bisa melakukan koordinasi organ
bersaingan.
E. Teori Perkembangan Biologis Peserta
Didik
Teori perkembangan biologis peserta didik banyak
dikemukakan oleh para ahli seperti Aristoteles, Kretschmer, dan sigmund Freud.
Jika Ariestoteles dan Kretschmer dalam melihat perkembangan peserta didik lebih
pada tahap-tahap perkembangan fisik, tetapi Sigmund Freud lebih melihat
pengaruh perkembangan fisik terhadap tahap-tahap perubahan perilaku libido
seksual (psikoseksual).
Sebagai tokoh terkenal, sigmund Freud dilahirkan pada
tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg (Austria) dan wafat di London pada tanggal 23 September
1939. Ia adalah orang Jerman keturunan yahudi. Pada usia 4 tahun dia dan
keluarganya pindah ke Venia, dimana ia menghabiskan sebagian besar masa
hidupnya. Meskipun keluarganya memeluk agama yahudi namun Freud menganggap
dirinya sebagai atheist. Sejak remaja dan masa mudanya, ia dikenal sebagai
pemuda yang rajin belajar dan jenius yang menguasai delapan bahasa dan
meyelesaikan sekolah kedokteran pada usia 30 tahun. Setelah lulus ia memutuskan
untuk membuka praktek di bidang
neurologi. Sigmund Freud baru dikenal luas sebagai ahli psikologi pda tahun
1990. Ketika ia menerbitkan sebuah buku yang menjadi tonggak lahirnya aliran
psikologi psikonalia yaitu buku yang bejudul Interpretation of Dreams. Dalam
buku ini Freud memperkenalkan konsep yang disebut alam ketidaksadaran
(unconscious mind). Buku –buku lain yang ditulisnya selama periode 1901-1905
diantaranya The Psychopathology of Everyday Life (1901).
Pada tahun 1902 dia diangkat sebagai profesor di
University of Viena dan saat ini namanya mulai mendunia. Pada tahun 1905 ia
mengejutkan dunia dengan teori perkembangan psikoseksual (Theory of
Psychosexual Development) yang mengatakan bahwa seksualitas adalah faktor
pendorong terkuat untuk melakukan sesuatu dan bahwa pada masa balita pun
anak-anak mengalami ketertarikan dan kebutuhan seksual.
Perkembangan peserta didik menurut Sigmund freud
(Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi siswoyo, 1995) dimulai dari sejak
lahir sampai kira-kira umur 5 tahun melewti fase yang terdiferensasi secara
dinamik. Selanjutnya berkembang sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami masa
stabil yaitu fase laten. Dinamika mulai bergejolak lagi ketika masa pubertas datang sampai
berumur 20 tahun, kemudian berlanjut pada masa kematangan. Secara lebih jelas
dapat dicermati lebih lengkap sebagai berikut:
Tahap
perkembangan peserta didik menurut Sigmund Freud
Umur (tahun)
|
Fase
perkembangan
|
Perubahan
Perilaku
|
0,0
– 1,0
|
Masa
Oral
|
Mulut
merupakan daerah pokok aktivitas dinamik.
|
1,0
– 3,0
|
Masa
anal
|
Dorongan
dan tahanan berpusat pada fungsi
pembuangan kotoran
|
3,0
– 5,0
|
Masa
Felis
|
Alt
kelamin merupakan daerah erogen terpenting
|
5,0
– 13,0
|
Masa
Laten
|
Implus-implus
atau dorongan-dorongan cenderung terdesak dan mengendap ke dalam bawah sadar
|
13,0
– 20,0
|
Masa
Pubertas
|
Implus-implus
mulai menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan
disublimasiakan oleh das ich dengan baik, maka ia bisa sampai pada masa
kematangan
|
20,0
ke atas
|
Masa
Genital
|
Individu
yang sudah mencapai fase ini telah manjadi manusia dewasa dan siap terjun
dalam kehidupan masyarakat luas
|
F. Teori Perkembangan Intelektual
Peserta didik
Salah satu teori atau pandangan yang sangat
terkenal berkaitan dengan perkembangan
intelektual atau teori perkembangan kognitif peserta didik adalah jean Piaget
(1896-1980). Jean Piaget dilahirkan di Neuchatel (Switzerland) pada tahun 1896
dan meninggal di Geneva dalam usia 84 tahun pada tahun 1980. Pada usia 10 tahun
ia suadah memulai karirirnya sebagai peneliti dan penulis. Piaget mula-mula sangat
tertarik pada ilmu alam kemudian beralih minatnya kepada bidang filsafat. Pada
tahun 1929 ia diangkat menjadi profesor dalam “Scientific Thought” di Janeva. Ia mulai terjun dalam dunia
psikologi pada tahun 1940 dengan menjadi direktur laboratorium psikologi di
Universitas Janeva dan terpilih sebagai ketua dari “Swiss Society for
Psychology”.
Piaget dalah seorang tokoh yang amat penting dalam
bidang psikologi perkembangan. Teori-teorinya dalam psikologi perkembangan yang
mengutamakan unsur kesadaran (kognitif) masih dianut oleh banyak orang sampai
sekarang. Aneka teori, metode, dan bidang penelitian yang dilakukan Piaget
dianggap sangat orisinil. Tidak sekedar melanjutkan hal-hal yang sudah lebih
dulu ditemukan oleh orang lain. Selama masa jabatannya sebagai profesor di
bidang psikologi anak, Piaget telah banyak melakukan penelitian tentang
Epistemologi Genetika (Genetic Epistemology). Ketertarikan Piaget untuk
menyelediki peran genetik dan perkembangan anak, akhirnya manghasilkan suatu
mahakarya yang dikenal dengan nama teori perkembangan intelektual (Thoery of
Intellectual Development).
Dalam teori perkembangan intelektual, Piaget
mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai
tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima
secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya
dibidang pendidikan. Menurut teori ini, perkembngan intelektual peserta didik
melalui tahap-tahap, setiap tahap perkembangan dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
peserta didik berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988).
Menurut Jean Piaget (Dahar, 1989) bahwa pengetahuan yang didapat oloh peserta
didik dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses
asimilasi adalah proses yang dilakukan
peserta didik dengan cara menyerap informasi baru dalam pikirannya. Sedangkan, proses akomodasi
adalah proses yang dilakukan peserta didik dengan cra menyusun kembali struktur
pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai
tempat dalam struktur pikiran (Ruseffendi 1989). Pengertian lain tentang
akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang sudah
ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno 1996).
Menurut Jean Piaget, perkembangan intelektual peserta
didik berlangsung dalam empat tahap, yaitu :
a. Tahap
sensori motor
b. Tahap
pra-operasional
c. Tahap
operasional konkrit
d. Tahap
operasional formal
Hal
ini dapat dicermati lebih lengkap sebagai berikut :
Umur
(tahun)
|
Fase
perkembangan
|
Perubahan
perilaku
|
0,0
– 2,0
|
Tahap
Sensori
motor
|
Kemampuan
berfikir peserta didik bru melalui gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca
indra sangat bepengaruh dalam diri mereka . keinginan terbesarnya adalh
keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk
mengetahui reaksi dari perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti akan
motivasi dan senjata terbesarnya adalah menangis. Memberi pengetahuan pada
mereka pada usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar
sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
|
2,0
– 7,0
|
Tahap
Pra- operasional
|
Kemampuan
skema kognitif masih terbatas. Suka meniru perilaku orang lain. Terutama
meniru perilaku orang tua dan guru yang pernah mereka lihat ketika orang itu
merespon terhadap perilaku orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi pada
masa lampau. Mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula
mengekspresikan kalimat pendek secara efektif.
|
7,0-11,0
|
Tahap
Operasional
kongkrit
|
Peserta
didik sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume dan jumlah: mempunyai kemampuan
memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang tingkatannya
bervariasi. Sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-beenda dan
peristiwa-peristiwa yang kongkret.
|
11,0-14,0
|
Tahap
Operasional
formal
|
Telah memiliki kemampuan menkoordinasikan
dua ragam kemampuan kognitif, secara serentak maupun berurutan. Misalnya
kapasitas merumuskan hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Dengan kapasitas merumuskan hipotesis
peserta didk mampu berpikir memecahkan
masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan.
Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, peserta didik
akan mampu mempelajari materi pelajaran yang abstrak seperti agama,
matematika, dan lainnya.
|
Berdasarkan
teori perkembangan dari Jean Piaget tersebut, selanjutnya dapat
diketahui tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual. Ruseffendi (1988) menyebutkan
sebagai berikut : (1) bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui
tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama; (2) bahwa
tiap tahap-tahap erkembangan didefinisikan sebagai suatu cluster dari
operasional mental (pengurutan, pengakalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis
dan penarikan kesimpulan) yang menunjukan adanya tingkah laku intelektual; (3)
bahwa gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan
(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara
pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pendidikan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam
kondisi lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri, dan serba kekurangan
disbanding orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan
disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
Peserta didik sebagai persona yang multidimensional, terdapat
beberapa dimensi yang menjelma dalam diri peserta didik, yaitu dimensi
individualitas, dimensi sosialitas, dimensi religiusitas, dimensi historisitas,
dan dimensi moralitas. Dari pemahaman peserta didik sebagai persona yang
multidimensional inilah dibutuhkan kecerdasan rasio, kepekaan hati nurani, dan
kebaikan budi pekerti sehingga dapat memajukan peradaban menjadi lebih baik,
bukan sebaliknya.
Beberapa ahli terdahulu telah membuat teori
perkembangan peserta didik dengan orientasi beragam, yaitu Teori
Nativisme, Empirisme, Naturalisme
dan Konvergensi. Tokoh lain seperti Lerner dan Spanier menyebut bahwa
perkembangan yang dialami oleh peserta didik sebagai interaksi dinamis antara 4 bidang, yaitu:
historis,biologis, psikologis, dan sosiokultural.
Perkembangan fisik mencakup berat badan, tinggi badan,
termasuk perkembangan motorik. Perkembangan biologis peserta didik menurut
Sigmund freud (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi siswoyo, 1995)
dimulai dari sejak lahir sampai kira-kira umur 5 tahun melewti fase yang terdiferensasi
secara dinamik. Selanjutnya berkembang sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami
masa stabil yaitu fase laten. Dinamika mulai bergejolak lagi ketika masa pubertas datang sampai
berumur 20 tahun, kemudian berlanjut pada masa kematangan.
Menurut Jean Piaget, perkembangan intelektual peserta
didik berlangsung dalam empat tahap, yaitu tahap sensori motor, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal.
B.
Saran
1.
Sebagai
calon pendidik maka perlu memahami hakekat peserta didik sebagai individu yang
unik dan multidimensional, serta memahami perkembangannya.
2.
Setelah
memahami peserta didik dan perkembangan pada umumnya, maka tugas pendidik
selanjutnya adalah memahami karakteristik tiap individu para peserta didiknya
dan membuat proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Siswoyo, Dwi, dkk. 2008. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar