Opsi

Jumat, 19 September 2014

Peserta Didik dan Pendidik



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3, bahwa tujuan dari pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maja Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Pemahaman tentang peserta didik sebagai subyek maupun obyek pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik maupun calon pendidik dalam rangka menyelenggarakan pendidikan menuju lebih baik. Oleh karena itu perlu kiranya pemberian materi khusus tentang peserta didik dalam kajian Ilmu Pendidikan guna memantapkan langkah pendidik Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang pengertian Peserta Didik dalam kajian Ilmu Pendidikan?
2.    Bagaimana hakekat peserta didik sebagai persona?
3.    Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan dalam diri peserta didik?
4.    Bagaimana teori-teori yang terkait dalam perkembangan fisik, biologis, dan intelektual peserta didik?

C.  Tujuan
1.    Memahami pengertian Peserta Didik dalam kajian Ilmu Pendidikan
2.    Memahami hakekat peserta didik sebagai persona
3.    Memahami pertumbuhan dan perkembangan dalam diri peserta didik
4.    Memahami teori-teori yang terkait dalam perkembangan fisik, biologis, dan intelektual peserta didik



BAB II
PEMBAHASAN

Kajian tentang peserta didik menyangkut beberapa hal diantaranya adalah pengertian, peserta didik sebagai personal, tori perkembangan peserta didik dalam beberapa aspek, kecerdasan ganda, keberbakatan.

A.    Pengertian Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami perkembangan sejaklahir hingga meninggal dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar (Sutari Imam Barnadib, 1995). Istilah peserta didik pada pendidikan formal/sekolah jenjang dasar dan menengah, dikenal dengan nama anak didik atau siswa; pada pendidikan pondok pesantren disebut santri, dan pada pendidikan keluarga disebut anak. Namun pendidikan pada lembaga nonformal tertentu seperti kelompok belajar paket C atau lembaga kursus, peserta didik disebut peserta ajar yang terkadang bisa terdiri dari para orang tua.
Menurut Sutari Imam Barnadib (1995) peserta didik sangat terbantung dan membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam kondisi lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri, dan serba kekurangan disbanding orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.

B.     Peserta Disik sebagai Persona
Pandangan modern tentang pendidikan dewasa ini melihat peserta didik adalah subyek atau persona, yakni makhluk yang mempribadi tidak lagi sebagai obyek yang non-pribadi sebagaimana pandangan para ahli pada abad pertengahan. Peserta didik adalah subyek yang otonom, memiliki motivasi, hasrat, ambisi, ekspresi, cita-cita, mampu merasakan kesedihan, bisa senang dan bisa marah, dan sebagainya. Selaku obyek atau persona yang memiliki otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus agar bisa memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai di hidupnya. Adapun ciri khas peserta didik yang dijelaskan oleh Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994) adalah bahwa peserta didik merupakan:
a.       Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insane yang unik. Maksudnya ia sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang berbeda dengan individu lain yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan.
b.      Individu yang sedang berkembang, yakni selalu ada perubahan dalam diri peserta didik secara wajar baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun kearah penyesuaian dengan lingkungan.
c.       Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Maksudnya adalah walaupun ia adalah makhluk yang berkembang punya potensi fisik dan psikis untuk bisa mandiri, namun karena belum dewasa maka ia membutuhkan bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya.
d.      Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri, sehingga mewajibkan bagi pendidik dan orang tua untuk setapak demi setapak memeberikan kebebasan kepada anak dan pada akhirnya pendidik mengundurkan diri.
Keempat ciri diatas merupakan justifikasi indukasi keunikan peserta didik sebagai persona yang multidimensional. Disebut multidimensional, sebab terdapat beberapa dimensi yang menjelma dalam diri peserta didik, yaitu
ü  Dimensi individualitas, dimensi ini berari peserta didik mewujud dalam kemandirian, ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, keakuan, semangat dan ambisi.
ü  Dimensi sosialitas, dimensi ini Nampak pada sikap kedermawanan, saling menolong, toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesama, berorganisasi, dan hidup bermasyarakat.
ü  Dimensi religiusitas, dimensi ini terlihat pada perilaku ketaatan menjalankan ajaran agama, beribadah, keyakinan akan adanya Tuhan, ketekunan, keikhlasan, kesediaan berdakwah, dan kepasrahan atau tawakal.
ü  Dimensi historisitas, merujuk pada sikap kesenangan menyelidiki kisah-kisah kuno, kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah.
ü  Dimensi moralitas, dimensi ini terlihat pada pengetahuannya tentang nilai-nilai moral, pengetahuan tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku moral, kemampuan membedakan antara perilaku moral baik dan buruk, kemampuan menjaga perilaku ketaatan moral, dan lain-lain.
Dari pemahaman peserta didik sebagai persona yang multidimensional inilah dibutuhkan kecerdasan rasio, kepekaan hati nurani, dan kebaikan budi pekerti sehingga dapat memajukan peradaban menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Kecerdasan yang dimaksud mencakup kecerdasan manusia yang bersifat ganda (multiple intelligence) sebagaimana yang telah disebutkan Howard Gardner yang senada dengan pernyataan Thomas Amstrong bahwa terdapat tujuh kecerdasan yaitu: verbal intelligences, musical intelligences, spatial intelligences, kinesthetical intelligences, logical-mathematical intelligences, social intelligences, intrapersonal intelligences.
Guna memperkuat hakekat manusia sebagai makhluk yang multidimensional, maka Notonagoro menambahkan bahwa secara kodrati peserta didik merupakan sosok manusia yang memiliki aneka macam kodrat yaitu kedudukan kodrat, susunan kodrat, dan sifat kodrat. Dari segi kedudukan kodrat, manusia bisa disebut sebagai makhluk yang berdiri sendiri di satu sisi dan makhluk ber-Tuhan di sisi yang lain. Dari segi susunan kodratnya, manusia merupakan makhluk yang tersusun atas jiwa dan raga. Adapun dari segi sifat kodratnya, manusia sebagai makhluk individu di satu sisi dan makhluk sosial di sisi lain. Skema hakekat kodrat peserta didik sebagai subyek manusia tergambar dalam diagram sebagai berikut:
KEDUDUKAN KODRAT












C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik
Sebagai manusia memiliki potensi kodrati, peserta didik memungkinkan untuk bisa tumbuh dan berkembang menjadi sosok makhluk yang sempurna (a fully functioning person). Istilah pertumbuhan pada diri peserta didik lebih diartikan sebagai bertambahnya tinggi badan, berat badan, semakin efektifnya fungsi-fungsi otot tubuh dan organ fisik, organ panca indera, dan lain-lain yang menyangkut kemajuan aspek fisik. Sedangkan, perkembangan diartikan sebagai semakin optimalnya kemajuan aspek psikis peserta didik seperti kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan pribadi, pengendalian emosi, kepekaan spiritual, keimanan dan ketaqwaan.
Menurut Hurlock (1992) perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Banyak teori dari para ahli yang menjelaskan bagaimana proses dan pentahapan pertumbuhan dan perkembangan pada diri peserta didik mulai dari masa anak-anak sampai dewasa. Masing-masing tahap merupakan masa peka peserta didik terhadap kebutuhan tertentu yang membutuhkan perlakuan yang sesuai dari pendidik. Mengenai masa peka ini dikemukakan pertama kali oleh Maria Mentessori (E.M Standing,1988) dengan istilah “sensitive periods”. Tugas pendidik adalah kewajiban mengenali masa peka yang ada pada diri peserta didik yang kemudian memberikan pelayanan dan perlakuan yang tepat.
Dalam bukunya Crow and crow (Sutari Imam Barnadib, 1995), kita mengenal beberapa usia perkembangan, diantaranya :
a.       Usia Kronologis
b.      Usia Kejasmanian
c.       Usia Anatomis
d.      Usia Kejiwaan
e.       Usia Pengalaman
Usia perkembangan yang ada pada masing-masing peserta didik tersebut perlu diketahui dan dipahami oleh pendidik. Masing-masing peserta didik memiliki loncatan dan kelambatan pada jenis usia perkembangan yang berbeda. Bagi peserta didik yang hidup di dalam lingkungan yang baik dan teratur maka perkembangan-perkembangannya akan melalui proses umum, sehingga tiap-tiap usia perkembangan dapat masak pada waktunya. Akan tetapi tidak semua peserta didik hidup dalam lingkungan demikian. Kenyataannya kehidupan yang dialami oleh masing-masing amat kompleks, maka banyak terjadi ketidaksamaan dari usia-usia perkembangan tersebut. Dalam banyak kasus, ada yang lebih cepat perkembangan jiwanya, tetapi jasmaninya berkembang lambat.
Charlotte Buhler juga mengemukakan pendapatnya bahwa perkembangan yang terjadi pada peserta didik berlangsung melalui tahap-tahap, yaitu :
a.       Masa permulaan
b.      Masa penanjakan sampai kira-kira umur 25 tahun
c.       Masa puncak masa hidup, pada umur 25 sampai 50 tahun
d.      Masa penurunan dan menarik diri dari kehidupan masyarakat
e.       Masa akhir kehidupan,
Namun oleh Buhler, meskipun kemunduran biologis nyata terjadi, tetapi belum dapat ditentukan apakah juga ada kemunduran fungsi psikisnya.
Terhadap semua hal yang telah digambarkan tersebut, paling tidak ada lima asas perkembangan pada diri peserta didik menurut Sutari Imam Barnadib (1995):
1.      Tubuhnya selalu berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya.
2.      Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, hal ini menyebabkan dia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
3.      Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta membutuhkan pendidikan untuk kesejahteraan anak didik.
4.      Anak mempunyai daya berekspresi, yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru di dalam lingkungannya dan menuntun pendidikan untuk member kesempatan kepadanya.
5.      Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Beberapa ahli terdahulu telah membuat teori perkembanagan peserta didik dengan orientasi beragam. Berikut masing-masing teorinya :
«  Nativisme
Teori Nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi manusia sejak lahir sudah dikarunai bekal bakat dan potensi baik dan buruk. Menurut teori navitisme ini, anak yang sudah membawa potensi jahat nantinya akan menjadi manusia jahat, sebaliknya anak yang membawa potensi baik akan menjadi baik pula. Oleh karena itu yang akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah faktor dari dalam yaitu potensi baik buruk tersebut, sedangkan faktor luar berupa pengalaman dari lingkungan tidak akan mempengaruhi pertumbuhan  dan perkembangannya. Sehingga teori ini menganggap bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor pembawaannya yaitu aneka potensi.
«  Empirisme
Teori ini dipelopori oleh John Locke yang berpendapat bahwa perkembangan anak tergantung  dari pengalamannya, sedangkan pembawaannya tidak penting. John Locke merintis aliran baru yang dikenal dengan teori “Tabula Rasa” yang beranggapan bahwa anak terlahir ke dunia bagaikan kertas putih. Istilah lain dari empirisme adalah enviromentalisme sebab menekankan pengalaman empiris yang berupa ransangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan (enviroment).
Teori ini oleh pemikir-pemikir berikutnya banyak dikritik dan dikoreksi, karena teori ini dianggap berat sebelah yang hanya mementingkan faktor pengalaman semata tanpa memperhatikan faktor bakat individu. Beberapa tokoh yang mengoreksi teori empirisme namun masih mengikuti prinsip teori ini bahwa manusia adalah makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi melalui modifikasi tingkah laku adalah B.F.Skinner, Ivan Pavlov, Thorndike dan J.B.Watson.
«  Naturalisme
Teori Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaques Rousseau (1712:1778) yang berpendapat bahwa anak sejak lahir sudah membawa potensi baik. Adapun akhirnya ia menjadi jahat disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negative dari masyarakat yang memang sudah rusak atau jahat.
Agar anak tetap menjadi baik dan tidak berubah menjadi jahat, maka anak tersebut sejak kecil harus dipisahkan dari pengaruh masyarakat. Karena masyarakat pada dasarnya sudah berubah menjadi berwatak jahat, bobrok, sarang dari banyak kriminalitas, korupsi, dan lain-lain. Akibat dari pandangan itu maka aliran Naturalisme dari J.J.Rousseau ini dikenal juga dengan teori Negativisme.
Dalam bukunya yang berjudul Emile, J.J,Rousseau menceritakan bagaimana pendidikan harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara individual dengan cara menjauhkan peserta didik dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artifical) sehingga segenap potensi kebaikan pada diri anak sebagai peserta didik bisa berkembang secara bebas, alamiah dan spontan.
«  Konvergensi
Teori ini dipelopori oleh William Stern (1871-1939) yang beranggapan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yaitu potensi yang dibawa sejak lahir juga dipengaruhi oleh pengalaman. Faktor internal dan faktor eksternal ini sama-sama memperoleh peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Implikasi teori ini adalah: (1) pendidikan mungkin dilaksanakan, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi yang buruk atau kurang baik, (3) yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Namun demikian teori konvergensi dianggap para ahli masih menyisakan permasalahan karena teori ini dianggap tidak bisa menjelaskan lebih lanjut dinamika perkembangan pasca pertemuan dua faktor bawaan dan lingkungan. Untuk itu, Jean Piaget mengembangkan Teori Interaksi dengan penjelasan sebagaimana gambar berikut:
P2
 
P3
 
P1
 
F.G
 
 











 





F.G (Faktor Genetik), F.L.(FFaktor Lingkungan),P (Person atau Pribadi)
                        Gambar 2: Dinamika Perkembangan Anak
Dalam hal ini Piaget ingin menjelaskan bahwa pribadi anak/peserta didik yang semula masih belum berkembang dengan dilambangkan F.G. kemudian mengalami perkembangan menjadi yang lebih baik yang dilambangkan dengan P1, P2, P3, dan seterusnya setelah  secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan yang dilambangkan dengan F.L.
Variasi pemikiran dalam teori interaksi adalah munculnya teori Norm of Reaction. Menurut Hirsch, tokoh pemikir teori ini bahwa genotype merupakan bagian sifat bawaan yang potensial dan tidak langsung kelihatan. Ia merupakan rentang potensi (range of potencial outcomes). Genotype  dapat berkembang tergantung dari faktor lingkungan (environment) dan saat tepat (timing) terjadinya interaksi antara keduanya. Genetik menentukan batas sosial seseorang. Adapun hasil perkembangan seseorang dapat bergerak kea rah batas atas atau batas bawah. Tokoh teori konvergensi yang bernama William Stern, menyebut teori ini dengan istilah rubber band hypothesis.
Tokoh lain seperti Lerner dan Spanier menyebut bahwa perkembangan yang dialami oleh peserta didik sebagai interaksi  dinamis antara 4 bidang, yaitu: historis,biologis, psikologis, dan sosiokultural. Sedangkan Bandura menyebut perkembangan tersebut merupakan hasil interaksi dinamis antara tiga bidang yang mencakup: B (behavior), E (enviroment), dan P (person).
Menyimak argumentasi dari teori kovergensi dengan pengembangannya inilah, dalam dunia pendidikan teori ini telah dianut oleh banyak kalangan. Dari teori ini akhirnya banyak muncul variasi-variasi strategi dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajran. Seperti yang dijelaskan oleh Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994) aneka variasi strategi tersebut dikenal dengan nama strategi disposisional, srtategi fenomenologis, strategoi behavioral, dan strategi psikodinamik.

D.    Teori Perkembangan Fisik Peserta Didik
Teori perkembangan fisik peserta didik dikemukakan oleh Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983). Perkembangan fisik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Dalam pendidikan, perkembangan fisik anak mencakup pengemb ngan: kekuatan (strength), ketahanan (endurance), kecepatan (speed), kecekatan (agility), dan keseimbangan (balance).
Menurut Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983) yang dikutip oleh Slamet Suyanto (2005), perkembangan motorik peserta didik pada anak usia dini mengikuti delapan pola umum sebagai berikut:
a.       Continuity (keberlanjutan), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks sejalan dengan bertambahnya usia anak.
b.      Uniform sequence (kesamaan tahapan), yakni suatu perkembangan yang memiliki tahapan sama untuk semua anak, meskipun kecepatan tiap anak untuk mencapai tahapan tersebut berbeda.
c.       Maturity (kematangan), yakni suatu perkembangan yang ada pada peserta didik yang dipengaruhi oleh perkembangan sel syaraf. Semua sel syaraf telah terbentuk semenjak anak lahir meskipun proses mielinasinya masih terus berlangsung sampai beberapa tahun kemudian.
d.      From general to specific process (proses dari umum ke khusus), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari gerak yang bersifat umum kepada gerak yang bersifat khusus. Gerakan secara menyeluruh dari badan terjadi terlebih dahulu baru kemudian gerakan bagian-bagiannya. Hal ini dikarenakan otot-otot besar (gross muscles) berkembang lebih dulu dari pada otot-otot halus (fine muscles).
e.       Dari gerak refleks bawaan ke arah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan yang dimiliki peserta didik yang dimulai dari gerak refleks bawaan yang dibawa sejak lahir ke dunia kepada aneka gerak yang terkoordinasi dan bertujuan.
f.       Chepalo-caudial direction, yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati kepala berkembang lebih cepat daripada bagian yang mendekati ekor. Otot pada leher berkembang lebih dahulu daripada otot kaki.
g.      Proximo-distal , yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati sumbu tubuh berkembang lebih dahulu daripada yang lebih jauh.
h.      From bilateral to crosslateral coordinate, yakni suatu perkembangan yang dimulai dari koordinasi organ yang sama berkembang lebih sahulu sebelum bisa melakukan koordinasi organ bersaingan.

E.     Teori Perkembangan Biologis Peserta Didik
Teori perkembangan biologis peserta didik banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Aristoteles, Kretschmer, dan sigmund Freud. Jika Ariestoteles dan Kretschmer dalam melihat perkembangan peserta didik lebih pada tahap-tahap perkembangan fisik, tetapi Sigmund Freud lebih melihat pengaruh perkembangan fisik terhadap tahap-tahap perubahan perilaku libido seksual (psikoseksual).
Sebagai tokoh terkenal, sigmund Freud dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg (Austria) dan wafat di London pada tanggal 23 September 1939. Ia adalah orang Jerman keturunan yahudi. Pada usia 4 tahun dia dan keluarganya pindah ke Venia, dimana ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Meskipun keluarganya memeluk agama yahudi namun Freud menganggap dirinya sebagai atheist. Sejak remaja dan masa mudanya, ia dikenal sebagai pemuda yang rajin belajar dan jenius yang menguasai delapan bahasa dan meyelesaikan sekolah kedokteran pada usia 30 tahun. Setelah lulus ia memutuskan  untuk membuka praktek di bidang neurologi. Sigmund Freud baru dikenal luas sebagai ahli psikologi pda tahun 1990. Ketika ia menerbitkan sebuah buku yang menjadi tonggak lahirnya aliran psikologi psikonalia yaitu buku yang bejudul Interpretation of Dreams. Dalam buku ini Freud memperkenalkan konsep yang disebut alam ketidaksadaran (unconscious mind). Buku –buku lain yang ditulisnya selama periode 1901-1905 diantaranya The Psychopathology of Everyday Life (1901).
Pada tahun 1902 dia diangkat sebagai profesor di University of Viena dan saat ini namanya mulai mendunia. Pada tahun 1905 ia mengejutkan dunia dengan teori perkembangan psikoseksual (Theory of Psychosexual Development) yang mengatakan bahwa seksualitas adalah faktor pendorong terkuat untuk melakukan sesuatu dan bahwa pada masa balita pun anak-anak mengalami ketertarikan dan kebutuhan seksual.
Perkembangan peserta didik menurut Sigmund freud (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi siswoyo, 1995) dimulai dari sejak lahir sampai kira-kira umur 5 tahun melewti fase yang terdiferensasi secara dinamik. Selanjutnya berkembang sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami masa stabil yaitu fase laten. Dinamika mulai bergejolak  lagi ketika masa pubertas datang sampai berumur 20 tahun, kemudian berlanjut pada masa kematangan. Secara lebih jelas dapat dicermati lebih lengkap sebagai berikut:
Tahap perkembangan peserta didik menurut Sigmund Freud
Umur (tahun)
Fase
perkembangan
Perubahan
Perilaku
0,0 – 1,0
Masa Oral
Mulut merupakan daerah pokok aktivitas dinamik.
1,0 – 3,0
Masa anal
Dorongan dan tahanan berpusat  pada fungsi pembuangan kotoran
3,0 – 5,0
Masa Felis
Alt kelamin merupakan daerah erogen terpenting
5,0 – 13,0
Masa Laten
Implus-implus atau dorongan-dorongan cenderung terdesak dan mengendap ke dalam bawah sadar
13,0 – 20,0
Masa Pubertas
Implus-implus mulai menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan disublimasiakan oleh das ich dengan baik, maka ia bisa sampai pada masa kematangan
20,0 ke atas
Masa Genital
Individu yang sudah mencapai fase ini telah manjadi manusia dewasa dan siap terjun dalam kehidupan masyarakat luas

F.     Teori Perkembangan Intelektual Peserta didik
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal  berkaitan dengan perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif peserta didik adalah jean Piaget (1896-1980). Jean Piaget dilahirkan di Neuchatel (Switzerland) pada tahun 1896 dan meninggal di Geneva dalam usia 84 tahun pada tahun 1980. Pada usia 10 tahun ia suadah memulai karirirnya sebagai peneliti dan penulis. Piaget mula-mula sangat tertarik pada ilmu alam kemudian beralih minatnya kepada bidang filsafat. Pada tahun 1929 ia diangkat menjadi profesor dalam “Scientific Thought”  di Janeva. Ia mulai terjun dalam dunia psikologi pada tahun 1940 dengan menjadi direktur laboratorium psikologi di Universitas Janeva dan terpilih sebagai ketua dari “Swiss Society for Psychology”.
Piaget dalah seorang tokoh yang amat penting dalam bidang psikologi perkembangan. Teori-teorinya dalam psikologi perkembangan yang mengutamakan unsur kesadaran (kognitif) masih dianut oleh banyak orang sampai sekarang. Aneka teori, metode, dan bidang penelitian yang dilakukan Piaget dianggap sangat orisinil. Tidak sekedar melanjutkan hal-hal yang sudah lebih dulu ditemukan oleh orang lain. Selama masa jabatannya sebagai profesor di bidang psikologi anak, Piaget telah banyak melakukan penelitian tentang Epistemologi Genetika (Genetic Epistemology). Ketertarikan Piaget untuk menyelediki peran genetik dan perkembangan anak, akhirnya manghasilkan suatu mahakarya yang dikenal dengan nama teori perkembangan intelektual (Thoery of Intellectual Development).
Dalam teori perkembangan intelektual, Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya dibidang pendidikan. Menurut teori ini, perkembngan intelektual peserta didik melalui tahap-tahap, setiap tahap perkembangan dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor peserta didik berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988). Menurut Jean Piaget (Dahar, 1989) bahwa pengetahuan yang didapat oloh peserta didik dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah proses  yang dilakukan peserta didik dengan cara menyerap informasi baru  dalam pikirannya. Sedangkan, proses akomodasi adalah proses yang dilakukan peserta didik dengan cra menyusun kembali struktur pikiran karena adanya  informasi baru, sehingga informasi  tersebut mempunyai tempat dalam struktur pikiran (Ruseffendi 1989). Pengertian lain tentang akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno 1996).
Menurut Jean Piaget, perkembangan intelektual peserta didik berlangsung dalam empat tahap, yaitu :
a.       Tahap sensori motor
b.      Tahap pra-operasional
c.       Tahap operasional konkrit
d.      Tahap operasional formal
Hal ini dapat dicermati lebih lengkap sebagai berikut :
Umur
(tahun)
Fase
perkembangan
Perubahan
perilaku
0,0 – 2,0
Tahap
Sensori motor
Kemampuan berfikir peserta didik bru melalui gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indra sangat bepengaruh dalam diri mereka . keinginan terbesarnya adalh keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah menangis. Memberi pengetahuan pada mereka pada usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
2,0 – 7,0
Tahap
 Pra- operasional
Kemampuan skema kognitif masih terbatas. Suka meniru perilaku orang lain. Terutama meniru perilaku orang tua dan guru yang pernah mereka lihat ketika orang itu merespon terhadap perilaku orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat pendek secara efektif.
7,0-11,0
Tahap
Operasional kongkrit
Peserta didik sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya  volume dan jumlah: mempunyai kemampuan memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang tingkatannya bervariasi. Sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-beenda dan peristiwa-peristiwa yang kongkret.

11,0-14,0
Tahap
Operasional formal
 Telah memiliki kemampuan menkoordinasikan dua ragam kemampuan kognitif, secara serentak maupun berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan  kapasitas merumuskan hipotesis peserta didk  mampu berpikir memecahkan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan. Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, peserta didik akan mampu mempelajari materi pelajaran yang abstrak seperti agama, matematika, dan lainnya.
Berdasarkan  teori perkembangan dari Jean Piaget tersebut, selanjutnya dapat diketahui tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual. Ruseffendi (1988) menyebutkan  sebagai berikut : (1) bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama; (2) bahwa tiap tahap-tahap erkembangan didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasional mental (pengurutan, pengakalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukan adanya tingkah laku intelektual; (3) bahwa gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam kondisi lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri, dan serba kekurangan disbanding orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
Peserta didik sebagai persona yang multidimensional, terdapat beberapa dimensi yang menjelma dalam diri peserta didik, yaitu dimensi individualitas, dimensi sosialitas, dimensi religiusitas, dimensi historisitas, dan dimensi moralitas. Dari pemahaman peserta didik sebagai persona yang multidimensional inilah dibutuhkan kecerdasan rasio, kepekaan hati nurani, dan kebaikan budi pekerti sehingga dapat memajukan peradaban menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.
Beberapa ahli terdahulu telah membuat teori perkembangan peserta didik dengan orientasi beragam, yaitu Teori Nativisme, Empirisme, Naturalisme dan Konvergensi. Tokoh lain seperti Lerner dan Spanier menyebut bahwa perkembangan yang dialami oleh peserta didik sebagai interaksi  dinamis antara 4 bidang, yaitu: historis,biologis, psikologis, dan sosiokultural.
Perkembangan fisik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Perkembangan biologis peserta didik menurut Sigmund freud (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi siswoyo, 1995) dimulai dari sejak lahir sampai kira-kira umur 5 tahun melewti fase yang terdiferensasi secara dinamik. Selanjutnya berkembang sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami masa stabil yaitu fase laten. Dinamika mulai bergejolak  lagi ketika masa pubertas datang sampai berumur 20 tahun, kemudian berlanjut pada masa kematangan.
Menurut Jean Piaget, perkembangan intelektual peserta didik berlangsung dalam empat tahap, yaitu tahap sensori motor, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal.

B.     Saran
1.      Sebagai calon pendidik maka perlu memahami hakekat peserta didik sebagai individu yang unik dan multidimensional, serta memahami perkembangannya.
2.      Setelah memahami peserta didik dan perkembangan pada umumnya, maka tugas pendidik selanjutnya adalah memahami karakteristik tiap individu para peserta didiknya dan membuat proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Siswoyo, Dwi, dkk. 2008. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar