Opsi

Kamis, 18 Juli 2013

Mengapa Harus Guru?


Saya adalah seorang Mahasiswi calon Tenaga Pendidik, yang –katanya- sekarang sedang ramai dipilih calon Mahasiswa untuk menentukan masa depannya. Ya, memilih sebagai seorang pendidik yang resmi mengenyam pendidikan di Universitas Kependidikan dan akan lulus dengan gelar Es-Pe-De dan kelak akan berdiri di depan siswanya dengan penuh percaya diri serta memegang harapan akan mencerdaskan anak bangsa.
Dulu, ketika saya kali pertama masuk di bangku kuliah, beberapa Dosen selalu bertanya pada Mahasiswanya “Apa alasan Anda memilih jurusan ini? karena mimpi? karena tugas mulia? atau karena orangtua?” Jujur saja saat itu merasa ‘kagok’ dan bingung saat pertanyaan itu muncul tiba-tiba dan diluncurkan pada saya. Kemudian berbagai pemikiran saya menyeruak seolah membuat saya tak tahu harus menjawab dengan apa.
Inilah yang sampai sekarangpun masih saya tanamkan dalam hati, kenapa dan untuk apa saya berada disini? di Universitas Kependidikan ini, dan memilih jurusan ini?
Saya teringat dengan teman-teman saya semasa SMA dulu. Mereka adalah orang-orang yang hebat, pikirku. Banyak diantara mereka diterima di berbagai Universitas bergengsi, bertitel, dan dinilai high quality. Jurusan yang dipilih pun termasuk kategori jurusan favorit –walaupun jurusan saya juga demikian- seperti kedokteran, teknik sipil, teknik kimia, komunikasi, Hubungan Internasional, akuntan, teknik mesin, teknik informatika… dan hampir semua masuk kategori Universitas yang “berkelas” di negeri ini. Mereka hebat, dan selalu membuat saya sedikit –atau bahkan banyak- minder.
Seulas tentang jalur masuk ke Universitas, saya diterima melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur Tes Tertulis tahun 2012. Saya memilih bidang IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) walaupun spesialisasi saya adalah IPA saat SMA. Ini terobosan bagi saya, sebab dapat memilih tiga bidang jurusan yang dikehendaki baik bidang IPA maupun IPS. Meski demikian, tetap saja dinilai seperti “banting stir” mengingat pilihan pertama saya dulu adalah Akuntansi, pilihan kedua adalah jurusan ini, dan pilihan terakhir justru Pendidikan Fisika. Mainstream, bukan? mengingat saya adalah jebolan bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Alhasil, 2-3 bulan sebelum SNMPTN saya giatkan belajar dengan mandiri mata pelajaran bidang IPS.
Ya, mandiri dan tanpa mengikuti spesialisasi les tambahan apapun. Hal yang cukup menggelitik memang, suatu hari ketika saya sedang dalam perjalanan menuju lokasi Tes SNMPTN, saya bertemu dengan seorang bapak muda dan kami berdua sempat mengobrol. Di dalam kereta itu, beliau memang duduk di hadapan saya. Mungkin dengan maksud berbasa-basi, beliau menyanyakan saya Mahasiswi Universitas mana. Kemudian saya katakan bahwa saya baru saja lulus dan akan mengikuti Tes SNMPTN. Saat itu tampaknya beliau tertarik, lalu menanyakan asal sekolah saya. Saya jawab saja bahwa saya jebolan SMA N 1 Tegal dengan bidang IPA. Kami berbicara sedikit mendalam, soal bidang yang saya ambil adalah IPC dan pilihan pertama saya adalah bidang IPS, yaitu Akuntan.
Saat bapak muda itu mendengar jawaban saya, beliau bertanya “tapi, sudah ikut les tambahan IPS, kan?” Jujur saya kaget saat ditanyai hal itu. Akhirnya saya hanya tersenyum dan mengangguk, dan beliau berkata lagi “syukurlah, kalau tidak ikut les mbak bisa berat itu… kalau ikut kan lumayan bisa lebih terbantu”
Entah ketika saya mendengar itu, dalam benak saya rasanya sakit tetapi juga ingin tertawa dan berkata bahwa apa kaitannya antara LES TAMBAHAN dengan diterima atau tidaknya seorang calon Mahasiswa? Baiklah mungkin akan lebih mendapatkan “mind maping” yang tepat agar bisa masuk ke jurusan di Universitas DAMBAAN HATI. Justru setelah bapak muda ini berpikiran demikian, saya menjadi lebih berhati-hati bahwa memang saya menjadi pesimis tetapi akan saya BUKTIKAN bahwa pandangan itu tidak benar dan saya pun dengan modal buku-buku latihan soal dan media elektronik serta usaha dan doa, saya pasti LOLOS seleksi.
Beberapa kali memang, setelah saya melewati hari Tes SNMPTN, mindset yang ada di kepala dan hati saya berkata bahwa “Ah, apa saya bisa masuk di pilihan pertama? tapi untuk pilihan kedua… saya optimis masuk.” Mindset ini bukan sembarang, sebab beberapa kali saya mencocokkan lagi jawaban tes saya dan memperhitungkan plus minus nya, prediksi passing grade saya masih butuh keajaiban untuk dapat masuk di pilihan pertama.
Benar saja, saat hari pengumuman –yang saat itu disaksikan keluarga besar saya di Rumah makan fast food- melalui situs resmi SNMPTN, ternyata hasilnya adalah
PENGUMUMAN HASIL SNMPTN 2012
JALUR UJIAN TERTULIS

Nomor Peserta
Nama
Diterima di
312 — 42 — 02564
GITA NUR IZZATI
PENDIDIDKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD), UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


Selamat atas keberhasilan anda !

Ibu saya kemudian memeluk dan mengucapkan selamat. Semua keluarga saya merasa bahagia, bahwa ada salah satu anggota keluarganya kini berhasil mendapatkan status Mahasiswa Baru di Universitas Negeri. Bagaimana dengan saya? tentu saya bersyukur atas karunia dari-Nya dan akhirnya dapat membuktikan bahwa TIDAK ADA KAITAN antara Les tambahan atau semacamnya dengan DITERIMA/TIDAK nya seorang calon Mahasiswa. Meski demikian, ada sedikit kecewa di hati saya tentang mengapa bukan pada pilihan pertama saya diterima…
Baik. Kembali pada pembahasan tentang mengapa memilih Guru sebagai tujuan? Mulia sekali bila tujuannya ingin turut mencerdaskan anak bangsa. Kemudian ada yang berceletuk, “setelah anak bangsa menjadi cerdas, lantas kau mau apa?”
Sangat dermawan bila tujuannya ingin menyumbangkan hal yang terbaik bagi Pendidikan di Negeri ini. Kemudian ada yang berceletuk lagi, “menyumbangkan? berarti siap memberi tanpa mengharap imbalan? berarti siap mendidik tanpa mengharap GAJI yang jusru saat ini di gembar-gemborkan?”
Saya trenyuh dan berpikir lagi. Seperti tersadar, “ah, iya ya? kenapa saya memilih ini?”
Terlebih setelah beberapa bulan belajar di bangku kuliah Kependidikan serta mulai memahami dunia Pendidikan dengan warna-warni fakta di Negara ini. Betapapun itu juga mulia bila ada keputusan MK yang memberi kesempatan lulusan Non-Kependidikan (seperti halnya teman-teman saya dari teknik, akuntansi, komunikasi, dan berbagai ilmu murni lainnya) untuk dapat berkontribusi di dunia Pendidikan sebagai seorang GURU. Kembali lagi sajalah, akan saya tanyakan “Mengapa memilih GURU?”
Guru itu bukan perkara mudah. Bukan berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 2 siang. Bukan nikmat mendapat gaji walaupun sedang libur sekolah –entah yang satu ini perkara uang, semua orang tak menolak, iya?-
Tetapi Guru adalah “model” di depan siswa dan masyarakat. Guru selalu dihubungkan dengan hal yang baik, positif, patut dicontoh, dan anti melakukan hal buruk. Sekali kekerasan atau tindak kriminal yang dilakukan guru pasti langsung mencuat di media massa dan ruang publik. “Guru kok begitu?”. Menjadi GURU itu harus CERDAS menilai keadaan dan bagaimana menyikapinya agar tercapai tujuan PEMBELAJARAN. Bukan Ilmu murni dan pasti yang praktek realitanya selalu sesuai dengan teori. Menjadi Guru harus paham etika, psikologi anak, dan ilmu pengetahuan. Menjadi Guru itu… penuh tantangan. Bahkan beberapa guru “Wiyata Bakti” pun harus rela soal materil… Belum lagi ditambah sistem pengaturannya di Negeri ini.
Saya trenyuh. Sekali lagi. Apa yang bisa saya berikan untuk Negeri ini nanti bila anggapan masyarakat –termasuk saya- menjadi Guru itu mudah, menjadi Guru itu “pelarian”… Padahal Guru itu mulia dan perkara materil pun segala profesi pasti butuh.
Hal yang membedakan adalah, Seorang Guru pasti BAHAGIA bila siswa nya menjadi “orang” yang punya akhlak, yang memimpin, dan gaji lebih besar dari gajinya sekalipun. Karena itulah titik kebahagiaan seorang Guru. Pada akhirnya, alasan saya memilih jalan ini adalah karena saya ingin bahagia. Terdengar klise, tapi sebagai manusia yang terus belajar saya akan terus memperbaiki diri.

Tegal, Juli 2013. Ramadhan 1434 H.
Di tengah syukur atas Nikmat dan Karunia Allah SWT…